Ahlan wa Sahlan

Welcome to 'positive-optimistic' zone. Let's be one of Indonesian pride generation. Glad to meet you, have a good time n' get your nice surfing,
Peace...(*_*) !!

Kamis, 01 Maret 2012

i'm

Kelak
Gunung, aku
Sri Kertajasa Jayawardhana, aku
Sri Baduga Maharaja, aku
Disudut malam, kelak
Kusulut api-api, kobar
Esok mentari bakar, siang
Api-api, lantang
Tegar simpang jalan, aku
Terbakar terkapar,aku
Lumat gunung, tumbang, aku
Panjilah tunggal, dibangkaiku
Deguplah jantung suci, kibarlah
Senyum tersenyum, aku kalian.
Alam tak demikian, andai
Api-api itu api, jejak abadi
Onggok pisang, kecuali.

crazyline.


Ada yang berkata dunia itu indah, mungkin karena ia tidaklah monoton, ia unik dengan seninya sendiri. Yang tak selamanya suatu sisi skenario berjalan dengan keseyogyaan.
Pelangi mengalami itu...
Pelangi hilang bukan terbuang
Sebab ia tau, jika ia terus terkembang maka rona jemu kan tergambar dalam sepasang bola mata
Mungkin saja kata kolokan kan ia dapatkan, dimana demikian tidaklah lucu baginya, dimana demikian adalah fobia di sepanjang hayatnya, sebab itu adalah pemutus ruhnya. dimana kematian adalah kepedihan terlara.
Semoga itu bukanlah asa yang berlebih baginya, semoga... Meski penciptanya adalah sejatinya
Kala warnanya terbias...
Dalam benaknya hanya terbesit satu harap ia kan terus tercitra dengan senyum sukma
Ia cukup bangga slamanya, kala keberadaanya tercatat di sudut luas dan anggun biru langitnya, seperti apa yang tersirat saat pelangi memudar pamit kala itu. Ketahuilah, sungguh ia tersenyum basah, dan sangat basah... setiap kali ia menatapnya...
Pelangi...
Akan selalu kembali, selalu kembali...
Sebab ia ada, selamanya ada, selamanya ada...
Pelangi tidak sedang berbicara tentang bintang, rembulan ataupun mentari
Agar dimengerti bahwa ia faham betul akan keberadaanya dan keberadaan mega birunya (hak dan kemerdekaan mega sepenuhnya), ia hanya muncul sejenak dari pertapaan seumur hidupnya di balik dimensi realita. Yang Kuasa tlah memberi rona serta senyum tersendiri di lembar itu yang telah cukup membuatnya lebih sejati, dan atas nama Penciptanya, pelangi pikul sepenuhnya pengertian akan sebuah pertanggungjawaban, pelangi junjung tinggi suatu pengertian akan kehormatan
Biarkan pelangi menerima, memiliki serta mengerti dan faham akan garisan dan takdirnya sendiri, biarkanlah...
(meski itu sungguh berbeda sekalipun dengan pandanganmu, wahai biru langit)
Katakanlah ‘ya’ dan 'ya', selalu dan selalu 'ya' dengan mendungmu wahai biru langit, wahai mega putih, wahai seanggun-anggunya lukisan sang Raja-Diraja...
Pelangi  yang akan basah atas sejuknya embunmu, penawar kegenitan skenario dunia, penyambung nafas dalam setiap inci degup jantungya... (andai kau saksikan sendiri irama itu, wahai langit biru)
Pelangi tidak dan takkan pernah malang, hanya saja ia bukan batu tanpa nyawa...
Izinkanlah pelangi akan terus secara berulang ber-orasi di haribaan birumu. Bersama derasnya hujan, bersama derunya gemuruh, bersama rona malam-raya, bersama sejuk embun fajar, bersama binar mentari pagi, bersama teriknya hari serta bersama kemuningnya senja. Izinkanlah.
Dan biarkan ia tersimpuh, demi maha-luasnya pemahaman. Sebab sujud hanya milik penciptanya.
Seandainya pelangi masih berhak atas harga diri...
 i knw u're stnding there n'heard it, though only by silence. bt i'm pretty hppy..:) enough.

Amazingsunset (26212).


..................
Kemarin...
Sejenak detik waktu menyeretku kesuatu tempat, kesuatu waktu, bersama sendiriku.
Disana, di gubuk itu.. yah di gubuk itu,
Kutengok kembali sebuah prasasti waktu abadi yg tergores di birunya langit, di birunya kalbu.
Aku tertegun, kian tertegun... membuka sampul merah, semerah warna ingatan
Ku duduk, kudekap erat kedua lututk yang sekejap disergap hawa dingin lorong kelam
Bibirku terkatup bisu, sebisu rahasia malam.
Senja itu masih seperti dulu, mengukuhkan sebuah keberanian akan sebuah keyakinan...
.....................................................................................................
Semilir laut mulai mengabarkan lambaian itu di seberang sana,
Kian dekat, kian kutemui sesosok wajah seruan jiwa, anggun diantara mega dan cakrawala
Kumematung, meski aliran kalimat kuuntai bersaing dengan riuh buih samudera
Kian lekat, kian tiada jarak antara pasir, ombak, mega, bahkan manusia. Tinggallah lukisan penuh akan dirimu, akan segalamu
Kala kudiam, kau mulai merangkai bahasa kehidupan, tentang nyanyian camar dan rembulan
Bersama khas senyummu, kau khabarkan akan sebuah kearifan, akan sebuah kemerduan jiwa yang seyogya...
Tak kuasa bibirku untuk menahan senyum bersama luruh sgala airmata.. deras menantang gemuruh ombak lautan
Kau masih seperti dulu, yang tak pernah berhenti membuatku terkagum,
Meski kadang itulah yang membuat jantungku terkoyak, dadaku terhenyak, meremas nafas yang semakin sesak.
Riak buih, riuh ombak, bening segara, rincik bisikan pasir, semilir belaian bayu...
Ada sayu camar dikejauhan, warna kemuning senja, serta batas ufuk barat, berpadu mengutuhkan irama nada
Yah... sahut-menyahut merangkai kidung sgala kenangan yang tak pernah mati dilubuk ingatan...
Mereka mendudukanku diatas singgasana mega, bagi raja yang mati suri
Senja kian berujud emas, aku semakin mabuk dilena secawan anggur fantasi...
Hingga sampai pada saat dimana stimulus mengajakku tertawa, namun seketika air mukaku lusuh
Rona itu kulihat kian menjauh.. kian menjauh... Sejengkal demi sejengkal... merajut kepanikan dihatiku
Bentukmu tinggallah bayangan semu...
Lemah jemariku mencoba tuk meraih kepudaranmu
Namun sekali lagi benar, kau ditakdirkan untuk tidak terjamah sgala dayaku
Alam telah merenggutmu dariku... alam telah menentang lantang egoku...
Semuanya memang telah terjadi, memang telah berlalu. Tapi tidak jiwaku.
................................................................................................................
Kusaksikan lembaran rambutmu tersapu bayu biru, menyatu bersama keemasan warna senja
Ronamu, kian laun, kian berlalu...
terseret gemerisik putih pasir, yang tak lain adalah irama sembilu yang membelai daging kalbuku...
Biar begitu, senyummu tak pernah reda, meski segala penjuru mencoba untuk menggoda
Kutertunduk seraya melantun do’a, media abadi selayak jua pernah kau katakan
Semakin kutertunduk, semakin deras aliran dimataku...
Kian kuterpuruk, kian terhimpit rongga dadaku,
Tak ayal aku menikmatinya... seakan memang benar-benar kuingin hilang bersama bayangmu yang berlalu...
Tak ingin kupeduli lalu lalang manusia didekatku, yang mungkin menganggapku gila,
Karena aku memang sudahlah gila.
......................................................
Senja beranjak menghitam, sehitam langit jiwaku yang menggigil tanpa sehelai tabir
..............................................................................
Sebelum ku benar-benar hanyut bersama lautan samudera
Kumandang maghrib menyentak pundak, merayu demi kurapat kelopak mata, Subhanallah...
Segra kukunci pintu rahasia akan sebuah keagungan, ciptaan Maha Agung dari segala yang Agung
Kutengadah wajah yang basah, hempas segala rasa bersama nafas yang sejenak tertimbun
Kuhampiri laut, kubasuh agar semakin basah, agar kunikmat rangkaian Hamdalah.
Lagi-lagi...
Kupastikan kau duduk di tempat itu, menunggu giliran untuk membuka pintu langit,
Merebahkan jiwa-raga terhadap pemiliknya...
Karena kita tau, tempat itu memang tak cukup untuk kita lakukan bersama.:)
........................................................................................................................
Selesai kulalui rangkaian napak-tilas, segra hendak kukejar realita
Kutinggalkan satu kalimat pada sang prasasti : “ aku kan kembali, jagalah ia untukku. Berjanjilah! ”
Namun sang prasasti menyahut : “ jika ia memang milikmu, mengapa aku yang harus menjaganya?? ”
Aku tertegun, berani kupikir ia berujar begitu.
Aku berkata : “ Wahai prasasti, jika bisa aku belah raga ini, niscaya akan kulakukan. Jika jiwa ini tak bersemayam di dada, biar hanya raga saja kubawa pulang. Dan jika saja aku adalah Jibril, tentu aku takkan bernegosiasi denganmu. Aku sebatas hamba-sahaya, tapi aku mengerti akan takdirku. Biarkan dengan damai aku terima, biarkan dengan ikhlas aku jalani. Wassalamu’alaikum ”
Setelah ia sahuti salamku, sang prasasti hanya diam. Entah apa dalam benaknya, faham ataukah bingung. Aku tak lagi peduli dengan opsi itu, selamanya.
EL.